12 Rabiul Awal 1436 H pada tahun ini tepat jatuh pada tanggal 3 Januari 2015 M. Bukan suatu rahasia lagi bahwa setiap bulan Rabiul Awal umat muslim diberbagai belahan penjuru dunia ikut berbahagia menyambut bulan kelahiran Rosulullah Saw. Tidak kalah meriahnya juga di tanah air, dari kalangan masyarakat umum, lingkungan Ponpes, bahkan sampai kepada instansi pemerintahan pun juga tak mau ketinggalan untuk ikut merayakanya.Lain perayaan tahun baru yang penuh dengan hura-hura dengan segala gegap gempitanya, lain pula perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw. Suasana yang jelas sangat berbeda, untaian-untaian dzikir tertata dengan rapi disetiap lisan para jama'ah yang hadir.
Namun belakangan sebagian saudara-saudara kita orang-orang saleh melalui pemahamannya secara sistematis, mendegradasi bentuk-bentuk cinta kepada Rasul seperti Maulidan, Shalawatan, Dibaan, barzanjian, sampai Tahlilan dan ziarah kubur yang sudah diamalkan selama ratusan tahun sebagai sebuah stigma yang sangat negatif. Setelah dianjurkan untuk ditinggalkan, memperingati Maulidun Nabi, bahkan dianggap sebagai sebuah tindakan kultus individu. Sebuah stigma yang sungguh menyakitkan hati orang beriman. Bagaimana tidak, hari lahir dirinya, anak dan istrinya atau organisasinya diperingati, sementara hari lahir Nabi yang mulia malah dilarang bahkan diharamkan.. Duh Gusti!
Stigma megatif ini semakin menjadi pukulan telak begitu kita mencintai Baginda Rasul Saw lalu dianggap sebagai sebuah bid'ah. Setiap bid'ah adalah menyesatkan dan setiap yang sesat di neraka. Kalau kategori ini dijadikan alat justifikasi dan labelisasi, maka tentu tak terbilang berapa jumlahnya muslimin-muslimat 'kampung' yang begitu mencintai Nabi-nya, bakal terhantam julukan menyakitkan sebagai pelaku praktik bid'ah dan ahli neraka.
Dakwah mereka, bukan saja telah sukses membuat kita semakin jauh dari cinta kepada Baginda Rasul Saw, tetapi juga telah merasa berkuasa menentukan kapling-kapling surga dan neraka sebagai milik mereka.
Cinta kita di dunia ini sejatinya adalah cinta tak berbalas sedang cinta kepada Rasul Saw adalah cinta sejati. Kata-kata seperti apalagi yang dapat menjelaskan betapa agungnya kecintaan Rasul kepada kita, sampai-sampai menjelang tarikan napasnya yang terakhir, yang muncul justru desahan kalimat “ummati-ummati [umatku-umatku] dari dua belahan bibir beliau yang suci. Karena itu, sebuah riwayat menjelaskan, jika seorang ummat Islam berziarah lalu menyampaikan salam, maka Baginda Rasul akan memohon kepada Allah agar mengembalikan rohnya untuk menjawab salam tersebut.
Dalam hadits shahih diriwayatkan dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa Sekali waktu menjelang shalat berjamaah di Masjidin Nabi, seorang badui Arab bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?”
Orang tersebut menjawab, “Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.”
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “’Anta ma’a man ahbabta. (Kalau begitu), engkau akan bersama dengan yang engkau cinta)” (HR. Bukhari no. 6171 dan Muslim no. 2639).
Sahabat Anas Bin Malik r.a menggambarkan, ”Aku belum pernah melihat kaum Muslimin berbahagia setelah masuk Islam karena sesuatu seperti bahagianya mereka ketika mendengar sabda Nabi itu.”
Kita semestinya sadar bahwa amal sebesar apa pun tak akan mampu mengantar kita bertemu Allah. Hanya cinta kepada-Nya dan kepada Rasulullah Saw yang mampu mengantar kita bertemu Allah. Wallaahu a’lamu bishshawaab.
Namun belakangan sebagian saudara-saudara kita orang-orang saleh melalui pemahamannya secara sistematis, mendegradasi bentuk-bentuk cinta kepada Rasul seperti Maulidan, Shalawatan, Dibaan, barzanjian, sampai Tahlilan dan ziarah kubur yang sudah diamalkan selama ratusan tahun sebagai sebuah stigma yang sangat negatif. Setelah dianjurkan untuk ditinggalkan, memperingati Maulidun Nabi, bahkan dianggap sebagai sebuah tindakan kultus individu. Sebuah stigma yang sungguh menyakitkan hati orang beriman. Bagaimana tidak, hari lahir dirinya, anak dan istrinya atau organisasinya diperingati, sementara hari lahir Nabi yang mulia malah dilarang bahkan diharamkan.. Duh Gusti!
Stigma megatif ini semakin menjadi pukulan telak begitu kita mencintai Baginda Rasul Saw lalu dianggap sebagai sebuah bid'ah. Setiap bid'ah adalah menyesatkan dan setiap yang sesat di neraka. Kalau kategori ini dijadikan alat justifikasi dan labelisasi, maka tentu tak terbilang berapa jumlahnya muslimin-muslimat 'kampung' yang begitu mencintai Nabi-nya, bakal terhantam julukan menyakitkan sebagai pelaku praktik bid'ah dan ahli neraka.
Dakwah mereka, bukan saja telah sukses membuat kita semakin jauh dari cinta kepada Baginda Rasul Saw, tetapi juga telah merasa berkuasa menentukan kapling-kapling surga dan neraka sebagai milik mereka.
Cinta kita di dunia ini sejatinya adalah cinta tak berbalas sedang cinta kepada Rasul Saw adalah cinta sejati. Kata-kata seperti apalagi yang dapat menjelaskan betapa agungnya kecintaan Rasul kepada kita, sampai-sampai menjelang tarikan napasnya yang terakhir, yang muncul justru desahan kalimat “ummati-ummati [umatku-umatku] dari dua belahan bibir beliau yang suci. Karena itu, sebuah riwayat menjelaskan, jika seorang ummat Islam berziarah lalu menyampaikan salam, maka Baginda Rasul akan memohon kepada Allah agar mengembalikan rohnya untuk menjawab salam tersebut.
Dalam hadits shahih diriwayatkan dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa Sekali waktu menjelang shalat berjamaah di Masjidin Nabi, seorang badui Arab bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?”
Orang tersebut menjawab, “Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.”
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “’Anta ma’a man ahbabta. (Kalau begitu), engkau akan bersama dengan yang engkau cinta)” (HR. Bukhari no. 6171 dan Muslim no. 2639).
Sahabat Anas Bin Malik r.a menggambarkan, ”Aku belum pernah melihat kaum Muslimin berbahagia setelah masuk Islam karena sesuatu seperti bahagianya mereka ketika mendengar sabda Nabi itu.”
Kita semestinya sadar bahwa amal sebesar apa pun tak akan mampu mengantar kita bertemu Allah. Hanya cinta kepada-Nya dan kepada Rasulullah Saw yang mampu mengantar kita bertemu Allah. Wallaahu a’lamu bishshawaab.